Sejarah Sastra Arab

Sejarah Sastra Arab
A.      Pengertian Sastra Arab
Manusia sejak lahir dititipi tuhan dengan naluri keindahan dalam dirinya, sehingga kalau disuruh untuk memilih sesuatu maka dia pasti akan memilih yang terbaik dan terindah. Pilihan ini jatuh karena manusia memiliki naluri terhadap keindahan. Dunia sastra sangat identik dengan keindahan, karena sastra merupakan ungkapan jiwa seseorang yang diapresiasikan dalam berbagai bentuk dan memiliki nilai yang tinggi. Secara etimolgy sastra dapat diartikan dengan : Menurut Pradopo (1994: 32) mengutip defenisi Gazali, B.A yang mengatakan bahwa: Sastra (castra) dari bahasa Sanskerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah.[1]
Sastra disebut adab di dalam bahasa Arab. Secara leksikal, kata adab selain berarti sastra namun juga etika (sopan santun), tata cara, filologi, kemanusiaan, kultur dan juga ilmu humaniora. Dalam bahasa Indonesia, kata adab diserap dengan makna sopan santun, budi bahasa, kebudayaan, kemajuan, atau kecerdasan.[2] Makna adab mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada masa Jahiliyyah (pra-Islam) atau sekitar 150 tahun sebelum nabi Muhammad lahir (571 M), kata adab di samping berarti akhlak baik (sopan santun), juga berarti mengajak makan. Kata ini sudah jarang digunakan, kecuali kata ma’dubah, dari akar yang sama berarti jamuan atau hidangannya. Makna adab dalam arti mengajak makan makan ini dilihat dari bangsa Arab merepresentasikan akhlak baik, sebuah sikap yang menjadi tradisi Ibrahim sebagai nenek moyang bangsa Arab Adnaniyyah atau Musta’ribah yang melahirkan suku Quraisy, suku Nabi Muhammad.
Pada masa awal Islam (periode nabi dan Khulafa al-Rasyidin 610-661 M), adab berarti pendidikan, pengajaran bahasa dan akhlak. Pada masa bani Umayyah (661-750 M) kata adab berarti pengajaran puisi, orasi dan sejarah Arab. Pada masa Bani Abasiyyah awal (750-945 M) makna adab mengalami perluasan. Selain artinya pengajaran puisi, orasi, sejarah Arab, kata adab juga berarti pengajaran bicara dan nasihat. Pada abad ke-3 Hijriyyah (sekitar abad ke-10 atau 11 M), kata adab baru memiliki arti sastra yang dikenal sebagaimana saat ini, yaitu dalam arti bahasa yang memiliki estetika bantuk dan isi, baik lisan maupun tulisan.[3]
Sebagaimana makna etimologis dan terminologis, adab atau sastra dalam litelatur Arab terkait dengan pendidikan, pikiran, dan etika. Makna etimologis, bahkan terminologis sastra seperti itu juga dalam bahasa Indonesia. Sastra berasal dari bahasa sansekerta dari kata sas yang berarti mengajar, mengarahkan, memberikan petunjuk, dan tra yang memiliki arti alat atau sarana. Bahkan saat ini, sastra dalam bahasa Indonesia bukan saja berarti bahasa yang indah, tetapi juga  dipakai dalam kitab klasik dan kata sastrawan di samping artinya ahli sastra dan pujangga dan juga kaum cendekia.

B.     Seputar Syair Arab
Munculnya prosa lebih awal dari pada syair, karena prosa tidak terikat dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Namun menurut Thaha Husein[4]  yang menyatakan bahwa syair lebih dulu daripada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi. Potensi ini baru tumbuh hampir bersamaan dengan perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara ulama Lughah dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu daripada syair. Karena prosa merupakan karya bebas, tidak terikat (muthlaq), sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad). Dengan pendapat ini, keberadaan yang mutlaq lebih dulu daripada muqayyad. Ibn Rasyiq mempertegas bahwa asalnya bahasa atau ungkapan itu berbentuk prosa, kemudian orang-orang membutuhkan lagu-lagu yang membicarakan budi pekerti, mengenang memori kehidupan, dan sebagainya sehingga muncullah wazan-wazan yang kemudian disebut syair.  (Husein Al-Hajj: 1990; 25)[5]
Sejumlah peneliti berusaha untuk menjelaskan sebab-sebab munculnya syair Arab. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa pola tersebut diambil dari irama yang terdengar dari bunyi unta ketika menghentakkan kakinya ke tanah. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa pola-pola syair Arab adalah saj’un, kemudian berkembang menjadi rajaz, dan barulah muncul bentuk lainnya. Ketiga pendapat yang mengatakan bahwa pola-pola syair yang mengacu kepada lagu-lagu yang sering kali dinyayikan di padang pasir. Kemudian potongan-potongan kagu tersebut dikembangkan menjadi syair yang berpola.
Dalam karyanya Al-‘Umdah, Ibn Rasyiq berkata pada bahwa pada awalnya ungkapan itu berbentuk prosa (ungkapan bebas), kemudian orang-orang Arab membutuhkan lagu atau nyanyian untuk memuliakan budi pekertinya, keharuman keringatnya, mengingat hari-hari yang indah, tanah airnya yang jauh, kudanya yang pemberani, dan kedermawanannya. Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (geologi) secara umum menjadi simbol kebanggaan bagi masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa antar suku atau kabilah. Sedangkan al-anzab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan terhormat.
Syair Arab pertama yang sampai kepada kita adalah syair Al-Anbari bin Amr bin Tamim, kemudian syair Muhalhil bun Rabi’ah, Umru’ Al-Qais dan para penyair zaman jahiliyyah lainnya. Tapi yang paling sampai kepada kita adalah syair-syair Muhalhil bin Rabi’ah Al-Taghlibi Al-Ruba’i. Sebutan Al-Taghlibi yang ada di belakang namanya menunjukkan bahwa Muhalhil berasal dari suku Taghlibi, yaitu suku pertama yang mengenal syair Arab. Ia diaganggap sebagai orang pertama pencipta syair Arab, karena dari sekian syair jahili yang dapat direkam dan dicatat hanya sampai pada kepada zamannya (dua abad sebelum masehi). Para penyair jahiliyah lainnya yang berasal dari suku ini diantaranya adalah Tharafah, al-Harits bin Hillizah, al-A’sya, dan Amr bin Kultsum.
Suku kedua yang mengenal syair Arab adalah suku Qais. Para penyair yang terkenal dari suku ini adalah Al-Nabighah al-Dzubyani, Al-Nabighah al-Ja’di dan Labid bin Rabi’ah. Dan ketiga adalah suku Tamim. Syair-syair Arab banyak diambil dari ketiga suku ini. Hal ini bukan berarti suku Arab syair Arab tidak dikenal oleh suku lainnya, seperti suku Mudhar, Adnan, dan Qanthan. Jika dilihat kelengkapan isi dan bentuk maka Umru’ Al-Qais-lah yang terlengkap. Ia hidup pada pertengahan abad 6 M. setelah itu barulah muncul penyair-penyair lainnya.

C.     Periodesasi Sastra Arab
Terdapat beberapa perbedaan pembagian periodesasi sejarah satra Arab, akan tetapi mayoritas ahli sastra membaginya menjadi lima periode seperti yang disampaikan Hasan Zayyat[6] (1996: 8), demikian juga Al-Iskandary (1978: 10). Menurut mereka para ahli sastra Arab membagi sejarah kesusastraan Arab menjadi lima periode. Pembagian ini sangat erat sekali hubungannya dengan keadaan politik, sosial dan agama. Kelima periode tersebut adalah:
1.       Al-Asr Al-Jahily (Zaman Jahiliyyah)
Periode ini dimulai dua abad sebelum Islam lahir sampai agama Islam lahir.
2.       Asr Shadr al-Islam dan Kerajaan Umayyah
Periode ini dimulai sejak lahirnya agama Islam sampai runtuhnya daulat Bani Umayyah.
3.       Al-Asr Abbasy (Zaman Abbasiyah)
Periode dimulai sejak berdirinya daulat Abbasiyah sampai runtuhnya kota Baghdad oleh tangan bangsa Mongolia tahun 656 H.
4.       Al-Asr al-Turky (Zaman Pemerintahan Turki)
Periode ini dimulai sejak runtuhnya kota Baghdad sampai timbulnya kebangkitan bangsa Arab di abad modern.
5.       Al-Asr al-Hadis (Modern)
Timbulnya kesusastraan modern ditandai dengan timbulnya rasa nasionalisme bangsa Arab di abad modern sekarang.

Sedangkan menurut Umar Farukh (1968: 24) bahwa periodesasi sejarah sastra Arab dibagi menjadi empat fase, yaitu:
1.       Al-Adab al-Qadim: periode ini dimulai sejak sebelum Islam datang sampai habisnya masa dinasti Umayyah (150 SH – 132 H/ 470-750 M), periode ini dibagi dua, yaitu: a) Al-Ashr al-Jahiyl, dan b) Al-Ashr al-Islamy.
2.       Al-Adab al-Muhdas atau al-Muwallid: periode ini sejak tahun 132 H. Sampai tahun 656 H. (750 – 1250 M). Yaitu sejak berdirinya dinasti Abbasiyyah karena periode itu disebut juga al-Adab al-Abbasy. Sastra pada masa itu meliputi sastra Masriq (Syam, Irak. Mesir, Arab dan Khurasan) dan sastra Magrib (Andalusia, Afrika Utara dan Barat).

Sedangkan tim dosen dari negara-negara Arab berpendapat bahwa sejarah sastra Arab terdiri dari empat periode. Pendapat ini senada dengan yang disampaikan oleh Brockelmann (Lajnah, 1962), yaitu:
1.       Al-Adab al-Araby al-Qadim, terbagi menjadi: a) al-Adab al-Jahily (475-622 M) atau sampai lahirnya Islam dan b) al-Adab al-Islamy (622-759 M/1-132 H) atau sampai muncul dinasti Abbasiyah.
2.       Al-Adab al-Araby al-Muwallad, terbagi menjadi: a) al-adab al-abbasy (750-1258 M/132-656 H) dan b) al-Adab al-Andalusy (710-1492 M/91-897 H).
3.       Al-Adab al-Minhar, sastra fase kemunduran yaitu pada (1258-1798 M/656-1213H)
4.       Al-Adab al-Jadid, terbagi menjadi: a) al-Nahdhah, fase kebangkitan (1798-1900 M/1213-1318 H) dan b) fase menuju kesempurnaa.

D.     Jenis-Jenis Sastra Arab[7]
Dalam arti kesusastraan, adab  (sastra) terbagi ke dalam dua bagian besar: al-adab al-wasfi (sastra deskriptif/non-imajinastif/non-fiksi) dan al-adab al-insya’i  (sastra kreatif/fiksi). Al-adab al-Wasfi sering disebut juga dengan al-‘ulumul al-adabiyyah. Al-adab al-Wasfi terdiri dari tiga bagian: sejarah sastra (tarikh adab), kritik sastra (naqd al-adab), dan teori sastra (nazariyyah al-adab). Kritik sastra adalah bagian dari al-adab al-wasfi yang memperbincangkan pemahaman, penghayatan, penafsiran, dan penilaian terhadap karya sastra. Teori sastra ialah bagian al-adab al-wasfi yang membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membangun karya sastra, jenis-jenis sastra, dan perkembangan serta kerangka pemikiran para pakar tentang apa yang mereka namakan sastra dan cara mengkajinya. Sementara sejarah sastra ialah bagian al-adab al-wasfi yang memperlihatkan perkembangan karya sastra (kontinuitas dan perubahan sastra sepanjang sejarah), tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan tersebut.
Adapun al-adab al-insyai adalah ekspresi bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa, atau drama yang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari gaya bahasa biasa, karena mengandung aspek estetika bentuk dan makna (memuat rasa, imajinasi, dan pikiran), sehingga mempengaruhi terutama rasa, bahkan juga pemikiran penikmatnya dan kekuatan isi sebagian mengajak mereka kepada hal-hal etis. Secara umum, al-adab al-insya’i (sastra kreatif Arab) dibagi ke dalam tiga bagian besar: puisi (as-syi’ir), prosa (nasr), dan drama (al-masrahiyyah). Kendati al-adab al-wasfi (sastra deskriptif) dan al-adab al-isya’i (sastra kreatif) sama-sama sastra, tetapi keduanya memiliki beberapa sisi perbedaan. Di antaranya adalah:
1.       Membaca dan memproduksi al-adab al-wasfi membutuhkan unsur rasa dan imajinasi, tetapi dua hal ini di dalamnya lebih kecil dibanding pada al-adab al-insya’i.
2.       Al-adab al-isya’i menjelaskan realitas secara langsung dan bersifat subjektif, sementara al-adab al-wasfi menjelaskan realitas secara tidak langsung karena dibahasnya adalah realitas yang ada pada al-adab al-insya’i dan harus bersifat objektif (postivistik), meski dalam karya sastra yang bukan fantastik (tidak logis), seperti pada karya sastra realis, harus juga dirujuk pada realitas di luar karya sastra (kebenaran eksternalnya) juga. [8]


Daftar Pustaka
Djoko Pradopo Rahmat. Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees, 1994.
Muzakki, Akhmad. Kesusastraan Arab Pengantar Teori dan Terapan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006.
Sukron, Kamil. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012.
Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani. Sastra Arab dan Lintas Budaya, Malang: UIN Malang Press, 2008.





[1] Djoko Pradopo Rahmat, Prinsip Kritik Sastra. (Yogyakarta: Gajah Mada University Prees, 1994).
[2] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. (Depok: PT Raja grafindo Persada, 2012), h. 3.
[3] Ibid, h. 5.
[4] Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab Pengantar Teori dan Terapan. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006),  h. 13.
[5] Ibid, h. 14.
[6] Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab Dan Lintas Budaya. (Malang: UIN-MALANG PRESS: 2008), h. 21.
[7] Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. (Depok: PT Raja grafindo Persada, 2012), h. 5.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar